FILSAFAT ILMU
(Diajukan Sebagai Tugas Akhir Pada Mata Kuliah Filsafat Ilmu)
Dosen Pengampu
Dr. Fawaizul Umam, M. Ag
Hj.Zahraini
NIM. 15.4.14.1.036
PASCA SARJANA
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MATARAM
TAHUN AKADEMIK 2014/2015
1. Secara epistemologis, tidak ada metode yang paling benar. Semua metode berpotensi menjadi benar berdasar ketepatan dalam memilihnya sesuai dengan realitas atau subyek persoalan yang dihadapi. Lalu, menurut anda, apa metode yang paling tepat dalam meneliti sekaligus menyikapi fakta tingginya tingkat dekadensi moral di kalangan siswa/remaja saat ini!.
Metode yang tepat dalam menyikapi fakta tingginya tingkat dekadensi moral dikalangan siswa/remaja saat ini adalah fenomenologi. Fenomenologi merupakan kajian yang mempelajari tentang apa yang tampak. Dapat juga diartikan sebagai suatu cara dalam mengungkapkan atau mendeskripsikan makna yang ada dalam data atau gejala. Bila dikaitkan dengan masalah penelitian, maka fenomenologi merupakan strategi penelitian di mana peneliti mengidentifikasi hakekat pengalaman manusia tentang suatu fenomena tertentu. Sedangkan metode fenomenologi digunakan untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh dan yang lebih fundamental tentang penomena keberagaman manusia untuk memperoleh esensi keberagaman manusia serta struktur fundamental dari keberagaman manusia secara umum atau universal dan bukan gambaran secara partikular-ekslusif.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, metode fenomenologi merupakan suatu upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan atau realitas yang ada. Fokus penelitian fenomenologi adalah apa yang dialami oleh subyek penelitian tentang sebuah penomena dan bagaimana subyek mengalami dan memaknai pengalamannnya.
Terkait dengan tingginya dekadensi moral dikalangan siswa/remaja saat ini metode fenomenologi tepat digunakan, karena dengan metode fenomenologi akan dapat dipahami tentang prilaku siswa/remaja secara utuh dan obyektif menurut sudut pandang remaja sendiri atau perspektif subyek yang akan diteliti. Lebih jauh dengan menggunakan metode fenomenologi akan dapat diungkap apa adanya berdasarkan kenyataan/fakta yang ada di lapangan kemudian mendeskripsikan secara obyektif.
2. Berbagai konflik bertendensi agama biasanya bertemali erat dengan perbedaan pandangan umat dalam mengkonstruksi kebenaran, kebenaranpun beraneka ragam. Sebenarnya dalam konteks keagamaan mungkinkan kebenaran-kebenaran itu diseragamkan? Bila mungkin, bagaimana caranya? Bila tidak, lalu bagaimana menciptakan kedamaian di tengah perbedaan kebenaran itu?
Kebenaran merupakan suatu nilai utama di dalam kehidupan manusia. Sebagai nilai utama kebenaran memiliki fungsi rohani. Artinya sifat manusiawi secara hakiki mempercayai dan meyakini suatu kebenaran. Kebenaran adalah persesuaian antara kenyataan dengan fakta-fakta itu sendiri. Menurut Gazalba kebenaran adalah suatu hubungan antara pengetahuan dengan apa yang dijadikan obyeknya.
Jadi kebenaran adalah sesuatu yang nyata, sesuai dengan fakta dan bersifat relative. artinya apa yang dianggap benar oleh seseorang belum tentu benar menurut orang lain.
Sehubungan dengan pendapat di atas, maka kebenaran tidak dapat diseragamkan meskipun semua agama mengajarkan kebenaran, tapi ukuran kebenaran masing-masing agama berbeda, contohnya dalam hal ketuhanan. Konsep ketuhanan masing-masing agama berbeda. Oleh karena itu dibutuhkan dialog kooperatif antar agama untuk menciptakan kedamaian di tengah perbedaan kebenaran. Selain itu masing-masing agama harus menjauhkan fanatisme dan egoisme, mengesampingkan perbedaan-perbedaan dan mengedepankan persamaan, saling percaya dan saling menghormati atau menghargai. Memang dialog antar agama tidak sesederhana adanya pertukaran informasi antara dua atau banyak orang dari agama yang berbeda. Sebuah dialog apalagi menyangkut nilai fundamental menyangkut agama adalah suatu aksi yang kompleks yang melibatkan banyak perspektif. Lebih jauh, bisa jadi dialog antar agama dapat menghasilkan diskusi-diskusi polemik.
Oleh karena itu dalam berdialog antar agama harus dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan prinsip-prinsip dalam berdialog.
Prinsip-prinsip dalam berdialog antara lain:
a. Dialog dilakukan dengan kebebasan berpendapat dan berpikir, saling mempercayai. Tanpa hal ini, maka dialog tidak dapat berjalan dengan baik. Apabila pandangan dari agama lain tidak dihormati dan dihargai, maka dialog akan terhambat. Di samping itu, agama-agama saling harus saling mempercayai satu dengan yang lain, sehingga menghilangkan atau menekan kecurigaan dengan agama lain. Tujuan utama dari dialog ini adalah untuk saling menukar informasi dan bukan untuk menyalahkan satu dengan yang lain, membenarkan diri, berdebat, berdakwah maupun membela ajaran agamanya, karena ini bukan pada tempatnya.
b. Dialog diadakan dengan dua arah, tidak dengan satu arah, sehingga memonopoli dan memaksa pihak lain untuk mengikuti yang kuat atau mayoritas. Dialog yang dilakukan tidak dengan dendam, kemarahan maupun kebencian, namun dilakukan secara terbuka; kritis terhadap diri sendiri. Peserta dialog antar agama harus kritis terhadap dirinya sendiri, bahkan mau mengoreksi dirinya sendiri, bila ia melakukan sesuatu yang salah. Hal ini merupakan bagian yang penting untuk dilakukan; agama yang melakukan dialog harus berdiri sama tinggi, duduk sama rendah atau mereka setara atau sederajat (meski tidak sama), sehingga dialog dapat dilakukan dan didalamnya tidak ada diskriminasi. Apabila agama-agama yan berdialog sederajat atau setara, maka diskriminasi akan terhindari, sebab diantara mereka merasa tidak ada yang lebih superior, lebih besar atau lebih hebat.
c. Mencari ketekadan-ketekadan baru: rasional obyektif. Dialog antar agama dilakukan tidak dengan sentiment keagamaan, namun dengan ketekadan-ketekadan baru untuk memecahkan suatu masalah atau konflik antar agama yang dilakukan secara rasional dan dilakukan secara obyektif. Maka, dialog akan menghasilkan suatu manfaat bagi masyarakat.
d. Dialog tidak hanya sebatas pembicaraan, namun juga penghayatan, maupun tingkatan lanjutan atau mendalam. Ada suatu tindakan yang harus diambil atau dilakukan.
e. Membiarkan orang lain yang menilai dan menyimpulkan atau memutuskan.
f. Pemerintah sebagai mediator dalam dialog antar agama, namun pemerintah tidak campur tangan dan mendominasi. Sebab apabila pemerintah campur tangan dan mendominasi, maka dialog akan menjadi satu arah dan tidak lagi menjadi dialog antar agama, melainkan pemerintah yang mengatur agama.
g. Dialog harus dilakukan tanpa praduga-praduga, motif-motif atau keyakinan-keyakinan tersembunyi dari dua belah atau lebih, sehingga tidak ada saling mencurigai satu dengan yang lain. Dialog harus mendengarkan dan mengobservasi, tetapi juga harus berbicara, sehingga terjadi saling pengertian.
Meskipun tidak ada kesamaan antar berbagai perspektif tentang suatu kebenaran, akan tetapi harus ditanamkan bahwa ada sebuah ikatan di antara mereka. Ikatan itulah yang membuat kehidupan manusia semakin harmonis. Perbedaan adalah suatu unifikasi yang indah. Mereka tidak sama tetapi terikat dalam sebuah ikatan. Hal ini tidak bermaksud menyatukan beragam persfektif dari banyak agama karena hal tersebut tidak mungkin untuk dilakukan, masing-masing harus tetap yakin dengan keunikan persfektifnya. Namun disaat yang sama harus mampu berbicara, berdiskusi dan beraksi dalam masalah yang sama. Ikatan ini adalah untuk menyatukan langkah dan gerakan dalam upaya untuk memupuk peradaban manusia kearah yang lebih baik. Harmonisasi diantara perspektif yang berbeda itu direpresentasikan dalam penilaian yang sifatnya nondiskriminatif, perlakuan yang saling menghormati dan secara praktis adalah sebuah aksi yang kooperatif dan korelatif. Setelah melakukan dialog maka langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan begitu, maka dialog akan memiliki pengaruh nyata dalam menciptakan hubungan yang harmonis antar umat beragama.
Adapun contoh materi dialog antar umat beragama yaitu :
a. Dialog tentang kehidupan sehari hari, dimana orang orang berusaha untuk hidup dalam spirit saling terbuka dan kekeluargaan, saling berbagi dalam suka dan duka, menumbuhkan pertemanan yang didasarkan pada saling percaya yang bisa mengarah pada sharing tentang kepercayaan dan pengalaman religious masing-masing.
b. Dialog aksi dimana orang orang dari beragam agama berkolaborasi bagi kebaikan bumi dan bagi pertumbuhan dan kebebasan kemanusiaan.
c. dialog teologis dimana para peserta dialog berupaya mendalami pemahaman mereka tentang warisan keagamaan nasing-masing dan mengapresiasi kepercayaan dan nilai nilai spiritualitas kepercayaan yang lain.
d. Dialog pengalaman keagamaan dimana orang orang berdasarkan tradisi keagamaan mereka saling berbagi kepercayaan spiritualitas mereka misalnya tentang doa dan kontemplasi upacara keagamaan dan tempat-tempat suci serta tentang ibadah.
Jadi dengan dialog umat antar agama dapat menjadi solusi untuk menciptakan kedamaian antar umat beragama.
Daftar Rujukan.
1. K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jerman (Jakarta: Gramedia, Anggota IKAPI, 1981).
2. Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam-Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, (Bandung: Nusa Cendikia, 2001).
3. M. Amin Abdullah, Studi Islam Normativitas Atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).
4. Djam’annuri, Studi Agama Agama-Sejarah Dan Pemikiran (Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2003).
5. Raimundo Panikkar, Dialog Intra Religious (Yogyakarta: Kanisius, 1999).
6. Diambil Dari Brosur: Ecumenical & Interfaith Commission (Eic), East Melbourne, Victoria. Http://Eic.cam.org.au.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar